Senin, 19 Juli 2010

IMPEACHMENT GUS DUR; Memoir Santri


Masa itu adalah masa terakhir bersatunya NU dibawah satu suara, sekiranya itulah yang dapat penulis ingat. Penulis masih setahun nyantri di Alfalah Ploso Mojo Kediri ketika KH. Abdurrahman Wahid di Impeach dari kursi kepresidenan. Suasana saat itu genting; genting versi pesantren adalah tawa yang tersendat-sendat. Di Ploso waktu itu terjadi sesuatu yang tidak lazim. Kami santri biasa bisa memonitor perkembangan detik-detik terakhir apa yang terjadi di Jakarta, entah lewat TV atau cerita dari pejabat-pejabat kantor Pesantren pada waktu itu-bandingkan dengan berita WTC yang kami baru mendengarnya lima hari pasca bencana (Ploso adalah Pesantren salaf yang memiliki aturan melarang para santri membaca koran karena dikhawatirkan akan “menganggu” aktifitas belajar). Santri resah apa yang mesti mereka perbuat saat kyai nya dilecehkan. Mereka gelisah karena jauhnya jarak dan tibakah mereka tepat waktu. Mereka menunggu keputusan kyai mereka; Apakah berangkat seluruhnya? Apakah hanya santri-santri pilihan? Atau cukup dengan kirim do’a saja?.


Banyak hal yang harus dipertimbangkan para kyai pada hari itu. Isu Bughot (pemberontakan) yang dialamatkan pada Amin Rais, stabilitas bangsa dan negara, dan banyak lagi yang kami para santri kurang paham. Para kyai membuat itung-itungan sendiri, kami pun juga. Penulis waktu itu mulai menghitung berapa kekuatan Ploso, Lirboyo, dan Pesantren-pesantren besar lainnya. Di otak penulis terbersit itung-itungan untung rugi dan menang-menangan ala anak muda. Ploso pada waktu itu memiliki santri kira-kira 4 sampai 5 ribuan. Kalau Ploso 5 ribu Lirboyo antara 10 sampai 15 ribu dan pondok-pondok besar dan kecil lainnya, jumlah santri dari jatim saja bisa mencapai angka 50 ribu mungkin lebih (perlu dicatat bahwa era Presiden Gus Dur adalah era membeludaknya jumlah santri di Pesantren manapun). Dari jumlah itu kira-kira 10 % nya adalah santri dengan kemampuan khusus. Penulis membayangkan di Jakarta nanti kami berhadapan dengan tentara,katakanlah, 20 ribu petugas keamanan dan mungkin lebih. Dengan bantuan santri Jateng, Jabar, dan mungkin alumni-alumni tentunya kami akan dengan sangat mudah menaklukkan mereka-ini adalah imajinasi belaka.


Darah muda mulai merangkak naik keatas ubun-ubun kami para santri kala itu. Mungkin kita semua lebih mudah membayangkan apa yang bisa dilakukan oleh golongan Islam garis keras yang mengobrak-ngabrik tempat prostitusi, hiburan malam dan lain sebagainya-karena menggerakkan lelaki dengan janji surga dan taruhan agama lebih mudah daripada uang. Tapi bagamana jika yang diberangkatkan ke medan tersebut para santri dengan kyai-kyai yang satu suara. Takkan terbayangkan betapa "mandi"nya ucapan para kyai kala hal seperti itu terjadi. Dengan tanpa bekal disiplin ala militer atau iming-iming uang dan nasi bungkus ala parlemen jalanan yang sewaan (penulis beri penjelasan demikian agar tidak terjadi salah paham dengan parlemen jalanan yang beneran), tapi hanya berbekal dawuh kyai, para santri akan memenuhi setiap sudut jakarta (mungkin karena itulah para kyai selalu terpecahbelah atau memang harus di pecah belah). Penulis yakin Tentara Nasional Indonesia akan bimbang menghadapi kaum bersarung dalam jumlah besar.


Tapi apa yang kami bayangkan, bahkan mungkin diharapkan oleh sebagian santri yang kurang berkepala dingin, tidak terjadi. Pertunjukkan kesatuan suara dalam dunia perkyaian dalam menggerakkan santri tidak akan kita saksikan lagi pasca perang kemerdekaan, atau mungkin G 30 S/PKI. Kami para santri hanya diwajibkan berkumpul di masjid untuk mujahadah dan berdo’a bagi keselamatan bangsa dan negara pada umumnya dan Gus dur pada khususnya. Bukan hanya Ploso yang melakukan hal ini, tapi semua pesantren di seluruh Indonesia. Kami berpikir bahwa para kyai "ngeman" kami para santri dan lebih mementingkan stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Pasca kejadian itu, di suatu sore di hari kamis penulis pulang kerumah untuk mengambil bekal. Ada banyak hal yang ingin penulis dengar saat tiba di rumah. Ternyata benar sangkaan hati. Banyak cerita yang beredar perihal hari di lengserkannya Gus Dur pada waktu itu. Mulai tingkah para orang sakti yang ingin membunuh ketua MPR-salah satunya konon memiliki kemampuan untuk membunuh musuhnya dalam jarak tak terhingga dengan hanya memanggil namanya, seketika orang tersebut menjawab panggilan seketika itu pula ia akan meninggal-meskipun hal ini tidak sampai dilakukan “hanya” karena larangan Kyainya, sampai kisah kekecewaan Nahdliyin Jatim yang diarahkan pada PWNU Jabar karena terkesan “membiarkan” hal tersebut terjadi, sampai sekarangpun penulis masih belum memahami apa yang bisa dan tidak bisa mereka lakukan kala itu. Wallohu A’lam bis showab.

Tidak ada komentar: