Jumat, 23 Juli 2010

Nyai Muthollib


Malam yang berangin, hantaran khas pindah musim. Kabut libur menjauh tak mampu menghalangi indahnya bulan penuh.


Di depan salah satu komplek, duduk berjajar belasan anak setingkat SMP atau SD akhir melantunkan syair-syair arab. Sesosok pemuda mengawasi dengan teliti. Bukan kegagahan atau wibawa yang terpancar dari sosoknya. Tapi badut kurus yang tak sempat kehilangan keceriaan. Menebar tawa di tiap napas. Anak-anak semakin bersemangat dalam berlantun. Dengan gaya 'angon' bebek, pemuda itu laksana Bung Tomo yang membakar semangat arek-arek Suroboyo. Allohu akbar! Cepat selesai cepat pulang!


Sepuas bersyair mereka duduk dalam kelompok tiga empat anak. Mereka membaca abjad arab, membenahi makna jawa di tiap kata dan saling mengoreksi. Mereka mentransliterasi ke dalam bahasa Indonesia dan membicarakan maksud yang tepat. Badut kurus itupun memperhatikan. Tiap kelompok demi kelompok. Dengan sedikit membungkuk dan meletakkan tangan kiri ke belakang, ia laksana semar 'dawuh'. Atau menjadi Wisnu yang turun ke bumi. Menjaga tiap sendi dunia berjalan dalam harmoni.


Setelah puas berdiskusi mereka kembali menjadi kelompok besar. Duduk berjajar acak-acakkan memandang ke satu arah, ke arah badut kurus. Sang pemuda mulai menjelaskan secara panjang lebar hingga dari tiap kata dari abjad arab yang baru mereka pelajari. Ia serasa berjalan di awang-awang. Tanpa koreksi dan interupsi. Sesekali gelak tawa anak-anak tak tertahankan menikmati tontonan gratis dari sang pemuda. Dari depan tiap detail wajahnya terlihat jelas. Hidung mancung dengan bibir yang ikut mengimbangi. Sorot mata lugu penanda tak ada pengetahuan lebih didalamnya. Semua unsur itu bersatu padu membentuk siluet mesin tawa.


Setelah tuntas dengan pertunjukkannya, Sang semar pun berkata diselingi dengan senyum mewahnya, "ada pertanyaan atau permasalahan yang belum dipaham?". Sunyi sebentar, lalu...
"Tanya pak. Nama ibunya kanjeng nabi apa pak?" seorang anak yang duduk di depan dengan lugunya bertanya.
"Aminah," dengan diwibawa-wibawakan sang pemuda menjawab.
"Kalau Ayahnya pak?" tanya si anak lagi.
"Abdulloh," tak ada perubahan ekspresi dari sang pemuda.
"Kalau kakeknya pak?" cecar si anak
"Abdul Muthollib" jawab pemuda dengan ekspresi yang sama.
Tiba-tiba dari baris belakang terdengar suara bertanya,"kalau neneknya pak?"
Sempat sekejap tersirat kegalauan. Namun sepermili detik kemudian ia terlihat mampu menguasai keadaan dan menjawab,"ya Nyai Mutholib."
Suasana tiba-tiba sunyi senyap. Anak-anak tertegun seakan berusaha mencerna kebenaran yang baru tersampaikan.
Tak seberapa lama, sang pemudapun pamit undur diri.


Note:
Bangsa Arab menganut sistem kekerabatan Patrilineal. Dalam literatur arab, kita akan lebih mudah menemukan garis keturunan melalui pihak ayah dari pada garis keturunan melalui pihak ibu.

Selasa, 20 Juli 2010


PUT UP WITH PLUNDERER

I have cookies; my mom bought me this morning
Eat five three left
I wait till sunset to joy their last
It’s a beautiful day to pass outside
Therefore, I go to play to feel the day
The sun goes around then decides to hide
Remembering my cookies, I feel excite so I go inside
Enjoying my lovely cookies, at least I’ve tried

There are soldiers everywhere, surrounding my precious treasure
The worker ants lift my cookies like a villain: very cruel and unpleasant
Some look blue some look yellow, in the crumb of my precious, seems the colors of the rainbow
An ant is yelling. Tell everybody to be fair, each ant one pair. “Don’t be greedy every one!” said the ant
But that is my cookies snatch away
Stand just on a brittle land
“Share for friends, neighbours even your foes if you want. Be generous for your purposes.”
Are you okay? It’s mine anyway!
They keep walking and the ant still announcing
Don’t mind whether I am watching
Stupefied and none to say, it’s just ants step away

My heart starts to rumble, harder than famous rock star drummer
Tongue feels bitter
Eventually, my eyes come to cry
I do love cookies and also my mom
Clearly I hate ants

Silence Tear
For situ gintung


Inside a peace night
People were sleeping tight
Dreams put his right
It came


Without sound and less warn
It took our warm
Why you passed
Just to take life


It wasn’t disaster
It was just our indifferent
Careless and didn’t care others


It happens again and again
What’s wrong with this nation
Lots of tear and sadness sudden
Made us week and beg pity from foreign


Asking why no answer reply
Was there hope
Or cloud still showed

Senin, 19 Juli 2010

IMPEACHMENT GUS DUR; Memoir Santri


Masa itu adalah masa terakhir bersatunya NU dibawah satu suara, sekiranya itulah yang dapat penulis ingat. Penulis masih setahun nyantri di Alfalah Ploso Mojo Kediri ketika KH. Abdurrahman Wahid di Impeach dari kursi kepresidenan. Suasana saat itu genting; genting versi pesantren adalah tawa yang tersendat-sendat. Di Ploso waktu itu terjadi sesuatu yang tidak lazim. Kami santri biasa bisa memonitor perkembangan detik-detik terakhir apa yang terjadi di Jakarta, entah lewat TV atau cerita dari pejabat-pejabat kantor Pesantren pada waktu itu-bandingkan dengan berita WTC yang kami baru mendengarnya lima hari pasca bencana (Ploso adalah Pesantren salaf yang memiliki aturan melarang para santri membaca koran karena dikhawatirkan akan “menganggu” aktifitas belajar). Santri resah apa yang mesti mereka perbuat saat kyai nya dilecehkan. Mereka gelisah karena jauhnya jarak dan tibakah mereka tepat waktu. Mereka menunggu keputusan kyai mereka; Apakah berangkat seluruhnya? Apakah hanya santri-santri pilihan? Atau cukup dengan kirim do’a saja?.


Banyak hal yang harus dipertimbangkan para kyai pada hari itu. Isu Bughot (pemberontakan) yang dialamatkan pada Amin Rais, stabilitas bangsa dan negara, dan banyak lagi yang kami para santri kurang paham. Para kyai membuat itung-itungan sendiri, kami pun juga. Penulis waktu itu mulai menghitung berapa kekuatan Ploso, Lirboyo, dan Pesantren-pesantren besar lainnya. Di otak penulis terbersit itung-itungan untung rugi dan menang-menangan ala anak muda. Ploso pada waktu itu memiliki santri kira-kira 4 sampai 5 ribuan. Kalau Ploso 5 ribu Lirboyo antara 10 sampai 15 ribu dan pondok-pondok besar dan kecil lainnya, jumlah santri dari jatim saja bisa mencapai angka 50 ribu mungkin lebih (perlu dicatat bahwa era Presiden Gus Dur adalah era membeludaknya jumlah santri di Pesantren manapun). Dari jumlah itu kira-kira 10 % nya adalah santri dengan kemampuan khusus. Penulis membayangkan di Jakarta nanti kami berhadapan dengan tentara,katakanlah, 20 ribu petugas keamanan dan mungkin lebih. Dengan bantuan santri Jateng, Jabar, dan mungkin alumni-alumni tentunya kami akan dengan sangat mudah menaklukkan mereka-ini adalah imajinasi belaka.


Darah muda mulai merangkak naik keatas ubun-ubun kami para santri kala itu. Mungkin kita semua lebih mudah membayangkan apa yang bisa dilakukan oleh golongan Islam garis keras yang mengobrak-ngabrik tempat prostitusi, hiburan malam dan lain sebagainya-karena menggerakkan lelaki dengan janji surga dan taruhan agama lebih mudah daripada uang. Tapi bagamana jika yang diberangkatkan ke medan tersebut para santri dengan kyai-kyai yang satu suara. Takkan terbayangkan betapa "mandi"nya ucapan para kyai kala hal seperti itu terjadi. Dengan tanpa bekal disiplin ala militer atau iming-iming uang dan nasi bungkus ala parlemen jalanan yang sewaan (penulis beri penjelasan demikian agar tidak terjadi salah paham dengan parlemen jalanan yang beneran), tapi hanya berbekal dawuh kyai, para santri akan memenuhi setiap sudut jakarta (mungkin karena itulah para kyai selalu terpecahbelah atau memang harus di pecah belah). Penulis yakin Tentara Nasional Indonesia akan bimbang menghadapi kaum bersarung dalam jumlah besar.


Tapi apa yang kami bayangkan, bahkan mungkin diharapkan oleh sebagian santri yang kurang berkepala dingin, tidak terjadi. Pertunjukkan kesatuan suara dalam dunia perkyaian dalam menggerakkan santri tidak akan kita saksikan lagi pasca perang kemerdekaan, atau mungkin G 30 S/PKI. Kami para santri hanya diwajibkan berkumpul di masjid untuk mujahadah dan berdo’a bagi keselamatan bangsa dan negara pada umumnya dan Gus dur pada khususnya. Bukan hanya Ploso yang melakukan hal ini, tapi semua pesantren di seluruh Indonesia. Kami berpikir bahwa para kyai "ngeman" kami para santri dan lebih mementingkan stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Pasca kejadian itu, di suatu sore di hari kamis penulis pulang kerumah untuk mengambil bekal. Ada banyak hal yang ingin penulis dengar saat tiba di rumah. Ternyata benar sangkaan hati. Banyak cerita yang beredar perihal hari di lengserkannya Gus Dur pada waktu itu. Mulai tingkah para orang sakti yang ingin membunuh ketua MPR-salah satunya konon memiliki kemampuan untuk membunuh musuhnya dalam jarak tak terhingga dengan hanya memanggil namanya, seketika orang tersebut menjawab panggilan seketika itu pula ia akan meninggal-meskipun hal ini tidak sampai dilakukan “hanya” karena larangan Kyainya, sampai kisah kekecewaan Nahdliyin Jatim yang diarahkan pada PWNU Jabar karena terkesan “membiarkan” hal tersebut terjadi, sampai sekarangpun penulis masih belum memahami apa yang bisa dan tidak bisa mereka lakukan kala itu. Wallohu A’lam bis showab.

Sugeng Rawuh Poro Derek






Selamat datang di The Ahmed Mind. It's an honor to welcome you hereSebuah karunia yang tak terduga ketika pada suatu malam penulis diingatkan akan cita-cita untuk membuat blog. Cita-cita yang mungkin saat ini jauh dari kesan mulia. Karena kemuliaan di dunia manusia dinilai dari sebuah akhir, bukan sebuah awal atau tengah proses. Dan cita-cita itu semakin tertatih ketika langkah terantuk di pilihan nama. The Javanese said, a name is a pray. Mungkin penulis menganggap ini terlalu serius layaknya seorang ayah yang menanti bayi pertamanya terlahir di dunia yang menginginkan segalanya tampak sempurna. Nama, nama dan nama. Memang inspirasi itu terkadang seperti perut kembung, jika belum saatnya tak ada cerita kentut akan keluar. 


Dan masa itu akhirnya tiba. Sebuah sms dari seorang gadis yang mengaku memiliki bibir sexy, perpaduan antara Angelina Jolie dan Marshanda, mengusulkan 'THEMINDOFMIFTAH'. Sekilas pandang nama ini seperti perpaduan antara bakul mie dan tukang kunci (Miftah means 'a key, a reveal-pen), yang ternyata kalau dipisah terbaca the mind of miftah. Setelah melalu pertimbangan 'serius', atau semacamnya, penulis putuskan untuk memberi nama The Ahmed Mind, lebih karena alasan enak didengar dan berkesan mewah.


Dalam jagat kepenyairan konon dikatakan bahwa para penyair ketika menulis puisi mendahulukan isi dari judul. Hal ini umumnya disebabkan karena para penyair sulit menentukan kemana ilham mereka mengarah. Sedang penulis lebih memilih adat jawa yang menganggap nama itu sebagai do'a sehingga berkesan bersibuk-sibuk diawal dengan menggantungkan jutaan harap pada sebuah nama. Namun sayangnya langkah ini berimbas pada kebingungan diakhir. Ekspektasi yang ditanamkan dalam nama ini terlalu besar, yang lalu membuat penulis bingung mau diapakan. Sebut saja frase The Ahmed Mind yang tersusun dalam bahasa Inggris, terbersit pertanyaan di otak, haruskah Blog ini berisi tulisan berbahasa Inggris? Cukup lama penulis terhuyung di persimpangan sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke asal, makna dari The Ahmed Mind. So, this is it. I can write it in Javanese, in English, in Indonesian or perhaps in Arabic, it's all up to me, to my mind. Dan seperti alasan bahasa penulisan di atas, apakah nanti Blog ini berisi puisi, prosa, artikel orang lain yang penulis comot it's not against our agreement, if there's any.


Akhiron, tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang sempurna. Penulis hanya bisa berucap selamat menikmati apa yang tersaji. Semoga langkah ini berbuah kebaikan in life and after life. Kritik dan saran selalu kami nanti, karena kebenaran hanya berada di sisi Tuhan.