Tampilkan postingan dengan label opinion. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opinion. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 Agustus 2010

The Importance of Education


Our prophet Muhammad S.A.W has said,”Tholabul ilmi faridzotun ala kulli muslimin wal muslimat.” Education is a must for every person, male or female. This doesn’t mean to learn all branch of science but it is meant to seek ilmul hal; science which represents us, represents our obligations as Muslims and Indonesian people. Let’s take an example. As Muslims, our obligations are doing five times pray; shubuh, dzuhur, asher, maghrib and isya’. To do this, we have to know what is must, mustn't, should, shouldn't in our pray. To be a great person in linguist, we have to learn phonology, semantics, morphology, syntax and many more. To be a Doctor we have to be expert in taxonomy, virology, microbiology, and many more. Knowing what to do to perform our obligation properly is also our obligation. Ma yutawasolu bihi ila iqomatil wajib fahual wajib.

Besides ilmul hal, we also need to learn ilmu ahwalil qulub; science which concerns with our mentality inside, between us, ourselves, and Allah S.W.T. Such as; be patient in facing Allah line of destiny and also always has a good prejudice at Allah.

The last but not least is ilmul ahlaq; science which concerns with our mentality among humans. Foe example; be friendly, have some respect for others, sincere and lots more. 
These three science should be combined and perform a unity in shape. These are the three main points of education.

We cannot deny that the quality of our education is still poor. It is a fact that our education achievement is at the bottom within South-East Asia countries, even we are left behind our neighbours. There are many problems in our education system. Let me give some examples: many teachers are poorly trained both in their subject matters and in teaching skills, our teachers’ salaries are low, our education fee is still expensive, and also other crucial problems related with the curriculum, national exam (UN), and teacher certification.


Our education policy merely is touching the outside layer. It’s only focused on ilmul hal with a small part for ilmul ahwalil qulub and lmul ahlaq. As a proof, the public school only gives an hour in one week for ”Agama” Class. Our education system only educates Indonesian people from outside not inside. The results are, corruption everywhere; Gayus Tambunan, Anggodo Widjojo, Artalita Suryani, the doctor only serves the rich and abandon the poor, the teachers are too busy with their certifications and dispose their students, and lots of other cases which indicates our awful mentality.

To build Indonesian people we need the three education aspects; ilmul hal to equipt our society with skill and ability to chase our behind, ilmul ahwalil qulub to teach us not to be pessimistic in facing life and Allah’s faith, and ilmul ahlaq to teach how to behave as a civilise people.

To end this, I'll quote a wise expression:“Ta’allam! Fainnal ilma zainun liahlihi. Wa fadzlun wa unwanun likullil mahamidi. Wa kun mustafidan kulla yaumin ziyadatan minal ilmi. Wasbah fi buhuril fawa’idi”. Science is a precious treasure for their owner. Science is also an assist and glory for every greatness been created. Make sure your each day worth by adding knowledge and sink in the sea of wonder, because learning, studying, gaining knowledge is a never ending duty, since we’ve been able to cry until we die.



Note: It is addapted from Ta'limul Muta'allim by Syeikh Zarnuji

Senin, 19 Juli 2010

IMPEACHMENT GUS DUR; Memoir Santri


Masa itu adalah masa terakhir bersatunya NU dibawah satu suara, sekiranya itulah yang dapat penulis ingat. Penulis masih setahun nyantri di Alfalah Ploso Mojo Kediri ketika KH. Abdurrahman Wahid di Impeach dari kursi kepresidenan. Suasana saat itu genting; genting versi pesantren adalah tawa yang tersendat-sendat. Di Ploso waktu itu terjadi sesuatu yang tidak lazim. Kami santri biasa bisa memonitor perkembangan detik-detik terakhir apa yang terjadi di Jakarta, entah lewat TV atau cerita dari pejabat-pejabat kantor Pesantren pada waktu itu-bandingkan dengan berita WTC yang kami baru mendengarnya lima hari pasca bencana (Ploso adalah Pesantren salaf yang memiliki aturan melarang para santri membaca koran karena dikhawatirkan akan “menganggu” aktifitas belajar). Santri resah apa yang mesti mereka perbuat saat kyai nya dilecehkan. Mereka gelisah karena jauhnya jarak dan tibakah mereka tepat waktu. Mereka menunggu keputusan kyai mereka; Apakah berangkat seluruhnya? Apakah hanya santri-santri pilihan? Atau cukup dengan kirim do’a saja?.


Banyak hal yang harus dipertimbangkan para kyai pada hari itu. Isu Bughot (pemberontakan) yang dialamatkan pada Amin Rais, stabilitas bangsa dan negara, dan banyak lagi yang kami para santri kurang paham. Para kyai membuat itung-itungan sendiri, kami pun juga. Penulis waktu itu mulai menghitung berapa kekuatan Ploso, Lirboyo, dan Pesantren-pesantren besar lainnya. Di otak penulis terbersit itung-itungan untung rugi dan menang-menangan ala anak muda. Ploso pada waktu itu memiliki santri kira-kira 4 sampai 5 ribuan. Kalau Ploso 5 ribu Lirboyo antara 10 sampai 15 ribu dan pondok-pondok besar dan kecil lainnya, jumlah santri dari jatim saja bisa mencapai angka 50 ribu mungkin lebih (perlu dicatat bahwa era Presiden Gus Dur adalah era membeludaknya jumlah santri di Pesantren manapun). Dari jumlah itu kira-kira 10 % nya adalah santri dengan kemampuan khusus. Penulis membayangkan di Jakarta nanti kami berhadapan dengan tentara,katakanlah, 20 ribu petugas keamanan dan mungkin lebih. Dengan bantuan santri Jateng, Jabar, dan mungkin alumni-alumni tentunya kami akan dengan sangat mudah menaklukkan mereka-ini adalah imajinasi belaka.


Darah muda mulai merangkak naik keatas ubun-ubun kami para santri kala itu. Mungkin kita semua lebih mudah membayangkan apa yang bisa dilakukan oleh golongan Islam garis keras yang mengobrak-ngabrik tempat prostitusi, hiburan malam dan lain sebagainya-karena menggerakkan lelaki dengan janji surga dan taruhan agama lebih mudah daripada uang. Tapi bagamana jika yang diberangkatkan ke medan tersebut para santri dengan kyai-kyai yang satu suara. Takkan terbayangkan betapa "mandi"nya ucapan para kyai kala hal seperti itu terjadi. Dengan tanpa bekal disiplin ala militer atau iming-iming uang dan nasi bungkus ala parlemen jalanan yang sewaan (penulis beri penjelasan demikian agar tidak terjadi salah paham dengan parlemen jalanan yang beneran), tapi hanya berbekal dawuh kyai, para santri akan memenuhi setiap sudut jakarta (mungkin karena itulah para kyai selalu terpecahbelah atau memang harus di pecah belah). Penulis yakin Tentara Nasional Indonesia akan bimbang menghadapi kaum bersarung dalam jumlah besar.


Tapi apa yang kami bayangkan, bahkan mungkin diharapkan oleh sebagian santri yang kurang berkepala dingin, tidak terjadi. Pertunjukkan kesatuan suara dalam dunia perkyaian dalam menggerakkan santri tidak akan kita saksikan lagi pasca perang kemerdekaan, atau mungkin G 30 S/PKI. Kami para santri hanya diwajibkan berkumpul di masjid untuk mujahadah dan berdo’a bagi keselamatan bangsa dan negara pada umumnya dan Gus dur pada khususnya. Bukan hanya Ploso yang melakukan hal ini, tapi semua pesantren di seluruh Indonesia. Kami berpikir bahwa para kyai "ngeman" kami para santri dan lebih mementingkan stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Pasca kejadian itu, di suatu sore di hari kamis penulis pulang kerumah untuk mengambil bekal. Ada banyak hal yang ingin penulis dengar saat tiba di rumah. Ternyata benar sangkaan hati. Banyak cerita yang beredar perihal hari di lengserkannya Gus Dur pada waktu itu. Mulai tingkah para orang sakti yang ingin membunuh ketua MPR-salah satunya konon memiliki kemampuan untuk membunuh musuhnya dalam jarak tak terhingga dengan hanya memanggil namanya, seketika orang tersebut menjawab panggilan seketika itu pula ia akan meninggal-meskipun hal ini tidak sampai dilakukan “hanya” karena larangan Kyainya, sampai kisah kekecewaan Nahdliyin Jatim yang diarahkan pada PWNU Jabar karena terkesan “membiarkan” hal tersebut terjadi, sampai sekarangpun penulis masih belum memahami apa yang bisa dan tidak bisa mereka lakukan kala itu. Wallohu A’lam bis showab.